Kami pernah ada di tempat yang sama pada masa remaja, di bangku SMP yang dipenuhi tawa dan kenangan, bukan teman dekat—hanya sekadar tahu nama dan wajah. Tak pernah benar-benar berbincang panjang, apalagi bertukar cerita. Lalu waktu membawa kami pada jalan masing-masing. SMA kami berbeda, begitu juga dunia pertemanan. Sejujurnya, saat itu, kami nyaris tak saling ingat.
Namun takdir memang punya cara yang unik dalam mempertemukan hati. Saat masa kuliah, sebuah undangan pernikahan teman menjadi titik temu kami berikutnya. Kami hadir dengan kehidupan masing-masing.Siapa sangka, momen sederhana itu menyisakan benih yang diam-diam mulai tumbuh.
Setelah pertemuan itu, kami kembali terhubung. Tidak intens. Tidak juga terlalu akrab. Hanya sekadar sapa lewat pesan, sesekali bertukar kabar, lalu tenggelam lagi dalam kesibukan masing-masing. Tapi ada yang berbeda. Rasanya seperti menemukan kembali bagian yang pernah hilang—tak utuh, tapi juga tak asing.
Waktu terus berjalan. Lalu suatu hari, kami sama-sama sendiri. Saat itulah langkah kecil mulai terasa berarti. Aku mengundangnya ke hari yang sangat penting dalam hidupku: wisudaku. Aku tidak benar-benar berharap banyak—aku hanya ingin dia tahu betapa aku ingin dia ada. Dan dia datang. Membawa buket bunga, senyum yang hangat, dan keberanian untuk bertemu dengan keluargaku.
Hari itu bukan hanya tentang aku yang lulus, tapi juga tentang kami yang akhirnya memulai. Ia menyatakan cinta. Bukan sekadar ungkapan suka, tapi ajakan untuk menapaki masa depan bersama. Aku tak ragu. Dalam hatinya aku menemukan tempat pulang, dan dalam hatiku ia melihat masa depan yang ingin ia perjuangkan.