Dalam perjalanan hidup, takdir kerap merajut kisah dengan penuh misteri yang dapat melintasi ruang, waktu, dan kemungkinan. Sama seperti kami, dua jiwa yang berasal dari sudut-sudut dunia yang berbeda, namun dipertemukan disuatu persimpangan yang tak pernah terbayangkan sebelumnya: Tanah Papua—ujung timur yang menjadi pangkal kisah kami.
Pada awalnya, kami tak lebih dari rekan yang berbagi ruang kerja. Tak ada yang Istimewa hanya percakapan sederhana, tawa seperlunya, dan tatap yang tak pernah terlalu lama. Namun seiring berjalannya waktu, Sang Penenun Takdir, diam-diam mulai merajut benang-benang halus diantara kami. Seiring waktu berlalu, hari berganti, rasa tumbuh perlahan, tanpa paksaan. Ibarat bunga yang mekar pada musim semi setelah melewati musim dingin yang panjang. Perasaan itu hadir dalam keheningan yang hangat.
Dari sekadar teman menjadi sahabat. Dari sahabat, tumbuh kesadaran bahwa ada sesuatu yang lebih dalam,lebih hangat,dan lebih tulus dari sekadar simpati. Cinta datang bukan dengan gegap gempita, melainkan dengan kelembutan yang merasuk, hingga kami menyadari, hati ini telah terikat oleh sesuatu yang tak kasat mata, namun sangat nyata.

Terkadang banyak insan berfikir bahwa kesamaan dalam banyak hal dapat luruh hanya dengan satu perbedaan. Namun, kami memilih untuk melihat dunia dari sisi lain, Dimana ketidaksamaan dalam beberapa hal pun dapat luruh oleh satu kecocokan yang mengakar. Karena kami percaya yang menyatukan bukan rupa yang serupa, melainkan keberanian meninggalkan dinding-dinding diri, dan berjalan perlahan menuju satu sama lain, hingga hati singgah di ruang tak bernama, namun terasa paling bermakna.
Saya yang berasal dari rahim tanah Jawa, sedangkan dia yang dilahirkan di sebuah pulau yang terpisah dari pangkuan Sulawesi, kecil dan sunyi yang bernama Selayar, selayaknya tempat singgah bagi para nelayan dan ternyata saya salah satu dari nelayan itu. Tak pernah terbayangkan bahwa jejak kami kelak akan bersinggungan di tanah yang bukan tempat kami dibesarkan, jauh dari bayang-bayang kampung halaman. Tapi kami percaya tak ada tempat yang asing bagi takdir. Sebab setiap pertemuan merupakan kepingan dari kisah agung yang telah ditulis langit, jauh sebelum kami mengenal bahasa cinta, apalagi maknanya.

Kami percaya, kisah ini bukan sekadar pertemuan dua nama di persimpangan semesta, melainkan bagian dari simfoni agung yang dirangkai oleh Sang Raja Waktu—sosok tak kasat yang merangkai detik demi detik layaknya puisi yang ditulis diatas arus cahaya. Pertemuan ini bukan benih yang tumbuh karena suatu kebetulan, melainkan benang halus yang telah lama ditenun di Lauhul Mahfudz, pada lembaran kisah di langit tempat seluruh takdir disematkan dengan presisi yang tak pernah luput, bahkan oleh bayang ragu. Jauh disana, sebelum kami saling mengenal, nama kami telah disandingkan—bukan untuk saling menemukan tetapi untuk saling merawat makna dalam diam yang tak semua manusia mengerti.

Kini, setelah menapaki jalan yang panjang dengan taburan makna dan perenungan, kami memilih untuk membuka lembaran yang tak sekadar baru, tetapi suci. Sebuah perjanjian jiwa bukan hanya sebagai dua insan yang saling mencinta, melainkan sebagai dua ciptaan Tuhan yang bersedia melintasi waktu bersama, dalam peluh dan pelipur, dalam sepi maupun sujud. Mengikrarkan kesetiaan bukan di atas janji, melainkan pada perjalanan itu sendiri yang menua dan meneduhkan, hingga batas dimana ruh kami mengenali rumah asalnya.
Dengan penuh syukur yang bergema hingga relung jiwa dan ketulusan yang terpatri dalam setiap hela napas, kami mengundang Anda untuk menjadi saksi dari satu perjalanan yang tak lahir dari kebetulan, melainkan dari kehendak agung yang menyulam dua hati menjadi satu narasi hidup yang akan terus tumbuh di antara takdir dan keabadian.